Degup Penantian 84 Bulan


Syifa ketakutan, tubuhnya menggigil tak karuan. Gadis itu takut jika apa yang berkecamuk di hatinya benar-benar menjadi kenyataan. Dia mengenggam untaian Edelweiss itu, keringat di telapak tangannya membasahi batang bunga yang telah lama mengering. Dia terus meremas bunga itu sambil sesekali berbisik perlahan. Tidak mungkin lelaki itu yang datang. Ia telah pergi tujuh tahun lalu, meninggalkan Syifa dalam balutan kecewa yang mendalam.

Syifa berlari kencang menembus malam. Genangan air sisa hujan yang diterjangnya membuat jilbab dan sepatunya basah. Gadis itu terus berlari, berharap menemukan sosok yang masih tersimpan indah di ujung hatinya. Tak ada siapapun di jalanan itu, hanya ranting pohon yang terus meneteskan sisa hujan petang tadi.

Syifa berhenti dengan nafas tersengal, dadanya sesak dan mukanya mulai pucat. Ia yakin melihat lelaki itu di jalanan ini tadi, saat ia mengajak mahasiswi di tempat kuliahnya dulu untuk menghadiri kajian rutin di Masjid Ar-Ridwan. Namun keraguan di hatinya membuat gadis itu tak menghiraukan apa yang diihatnya. Ia tetap berjalan mendampingi adik-adiknya menuju masjid. Dan seikat edelweiss yang ia temukan di dekat sepatunya, mau tak mau menepis kebimbangannya. Tali dari benang wol merah jambu yang mengikat bunga gunung itu menjadi bukti bahwa lelaki itu telah kembali.

***

Syifa sering melihat laki-laki itu melewati depan rumah kosnya, tubuhnya kurus dan tinggi, lehernya jenjang, kulitnya putih. Syifa juga sering melihatnya sedang bermain basket atau takraw di lapangan kampus, namun Syifa lebih suka menunggu lelaki itu melewati kosnya. Syifa yakin perut lelaki itu telah penuh terisi makanan, karena ia tahu lelaki itu makan di kedai makanan yang tak jauh dari kosnya. Dia bintangnya olahraga bola, baik itu bola voli, bola basket, bola sepak ataupun bola takraw.

Sore itu Syifa melihat lelaki itu berjalan perlahan dengan tumpukan bulletin di tangannya, ia menghampiri tiap mahasiswa yang berada tak jauh darinya seraya memberikan kertas-kertas itu. Saat mereka berpapasan, lelaki itu menghindari keberadaan Syifa dengan menundukkan wajahnya, namun tidak bagi Syifa, gadis itu tetap menatapnya lekat tanpa berkata-kata. Hanya semburat jingga warna pipinya yang menjadi tanda bahwa Syifa tidak mampu menahan deburan dan gemuruh hatinya.

Muhammad Zulfikar namanya. Dia orang Bugis, kuliah di jurusan Oseanografi. Dan usia lelaki itu setahun lebih muda darinya. Tak apa.. batin Syifa. Ia terus menghafal biodata lelaki itu, di kantin, di musholla, di tempat tidur walau hanya sebatas nama dan usia yang ia tau. Syifa tahu lelaki itu aktivis islam, ia sering melihatnya berorasi saat ada aksi mahasiswa. Dengan ikat kepala hitam bertuliskan kalimat syahadat berwarna putih, lelaki itu terus membara menyuarakan tentang khilafah, islam ideologis, penerapan syariah dan hal-hal lain yang sebenarnya Syifa tidak tau apa artinya. Toh Syifa tetap dengan setia mengikuti orasinya sampai selesai.

Syifa bagai anak angsa hilang di tengah kerumunan ayam, bagaimana tidak, yang menghadiri aksi seperti itu adalah akhwat sholehah dengan gamis dan kerudung lebar,deretan depan juga diisi dengan ikhwan-ikhwan yang tak pernah dilihatnya di acara kongkow-kongkow anak kampus. Sedangkan Syifa, lihatlah, ia mengikuti aksi-aksi itu dengan celana jeans dan kaos casual ketat membalut tubuhnya, kerudungnya pun tidak sempurna menjadi hijab bagi kepala dan dadanya. Tapi Syifa tak peduli meski deretan akhwat itu tersenyum berulang-ulang ke arahnya. Bukan senyuman sinis atau merendahkan memang, mungkin lebih karena mereka bingung melihat sekretaris utama BEM kampus hadir di acara seperti itu.

Entah lelaki itu merasakan kehadirannya atau tidak, Syifa tak terlalu memikirkannya. Gadis manis itu tetap rajin datang ke lapangan kampus tiap sore untuk melihat lelaki itu bermain basket atau olahraga yang lain, Syifa juga kerap merebut bulletin dari tangan teman-teman lelaki di kampusnya setelah lelaki itu membagikannya kepada mereka, atau tetap menunggu di depan kosnya setelah waktu makan tiba.

Sore itu Syifa terdiam di depan masjid kampus, ia ragu untuk melangkahkan kakinya ke dalam. Dia sudah melepas sepatunya namun laporan kegiatan diksar kampus yang belum selesai diketiknya membuat Syifa mengurungkan niat untuk menghadiri kajian mingguan di masjid itu. Tiba-tiba sebuah tangan meraih lembut lengannya, seorang gadis bergamis coklat dengan kerudung lebar berwarna caramel tersenyum manis ke arahnya. Syifa menatap dua bola mata yang indah dari gadis yang ada di hadapannya, sinar matanya begitu teduh dan membuat Syifa enggan beranjak dari tempat itu.

“Ayo masuk, kajiannya sudah hampir mulai loh. Syifa Alfalila jurusan Geodesi kan, kenalkan saya Meridian dari THP”, ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Syifa menyambut keramahan gadis itu dengan senyuman yang manis pula. Mereka sama-sama masuk ke masjid untuk mengikuti kajian itu.

Syifa tertegun saat mendengar suara pembuka acara, ia yakin pemilik suara itu adalah lelaki yang rajin berorasi di aksi-aksi yang sering diikutinya. Ia hanya tersenyum, hatinya bersorak girang karena baru kali ini Syifa bisa mengikuti acara kajian dimana lelaki itu selalu hadir. Meridian juga tersenyum ke arah Syifa, entah gadis itu bisa menebak perasaan Syifa atau tidak, yang jelas ia tersenyum sambil menggenggam tangan Syifa kuat.

Meridian sering datang ke rumah kos Syifa sejak saat itu. Ternyata gadis berkacamata itu lebih tua dua tahun darinya. Lama-kelamaan Syifa merasa sangat dekat dengannya. Ia selalu memberi Syifa selembar bulletin yang sama seperti yang diedarkan lelaki itu. Meridian selalu datang dan membantu Syifa tanpa pernah ia minta. Ia membantu Syifa mengetik laporan kegiatan-kegiatan kampus, mencari artikel untuk bahan presentasinya, dan tentu menjadi pendengar setia Syifa saat bercerita tentang lelaki itu. Tanpa pernah Syifa sadari, Meridian telah bayak memasukkan ide dan membuat kacamata berfikir Syifa tentang hidup berubah. Syifa mulai jarang berkumpul dengan teman-teman nongkrongnya di sekretariat BEM kecuali memang ia sangat dibutuhkan. Syifa juga tak pernah lagi mengenakan celana jeans dan kaos ketatnya, sekarang ia lebih suka mengenakan rok dan blus lebar. Dan perubahan-perubahan lain tampak pada dirinya seiring dengan pemahamannya akan ajaran yang telah ia peluk sejak kecil namun tak pernah ia pahami lebih daripada sekedar perintah shalat, puasa, zakat, dan naik haji.

Lelaki itu masih sering dilihatnya melewati depan kosnya, namun Syifa hanya menarik nafas perlahan sambil berusaha menyingkirkan pandangan matanya dari arah jalan. Namun toh Syifa sering berlari tergopoh-gopoh menuju ruang depan kos karena ternyata ia tak tahan ingin melihat lelaki itu, meski pada akhirnya hanya punggungnyalah yang terlihat. Ternyata ia belum mampu menjaga matanya untuk makhluk yang satu itu. Meridian bilang itu syahwat mata.

Sudah enam bulan Meridian menjadi musyrifah Syifa, mereka rajin mendatangi tempat kos satu sama lain untuk mengkaji Islam. Selama itu pula Syifa berusaha tak mengingat lelaki itu, meski sebenarnya ia tak bisa. Syifa tak mau niatnya untuk berubah menjadi lebih baik terkotori dengan rasa cintanya pada lelaki itu. Syifa tak pernah lagi datang ke lapangan kampus saat lelaki itu berolahraga, gadis itu juga tak memperhatikan jika ia berpapasan dengan lelaki itu di jalan. Sulit ternyata, tapi Syifa yakin ia bisa.

Dua minggu menjelang hari wisudanya, Meridian memintanya membantu pembuatan proposal acara outbond untuk ikhwan angkatan baru. Ia yang sudah kenyang dengan pekerjaan itu selama menjadi sekretaris BEM, segera mengetik susunan kegiatan itu dengan lancar. Gunung Gede, 24-26 Desember 2004, ia mengeja tempat dan tanggal outbond. Dan saat membaca ketua pelaksana kegiatan itu Syifa harus menelan ludah. Muhammad Zulfikar, susah payah ia mengetik nama itu. Hitungan dua belas bulan ternyata tak mengikis keindahan sosok itu dalam pandangan Syifa. Tapi ia tak mau lebur dalam perasaannya sendiri, Syifa segera mencetak lembaran proposal itu dan memberikannya pada Meridian, kakak, sahabat sekaligus guru ngajinya tercinta. Meridian tersenyum saat menerima proposal itu dari Syifa,

“Semangat! Wisuda kita sebentar lagi”, bisiknya pada Syifa.

Hari wisuda tiba. Syifa berada di tengah uraian canda sahabat-sahabatnya, mereka semua tersenyum lepas, seolah satu beban hidup telah tercabut dari pundak mereka. Namun tidak bagi Syifa, ia merasa kegamangan dan kekalutan luarbiasa menyelimuti dirinya. Wajahnya yang putih makin terlihat pucat dalam balutan jilbabnya yang berwarna biru tua. Ia tahu hari itu akan memisahkan dirinya dengan lelaki itu. Meridian menghampiri Syifa, senyumnya terkembang. Mereka berpelukan hingga airmata penuh menutupi raut muka keduanya. Satu persatu nama wisudawan dan wisudawati yang disebutkan tampil ke depan, Syifa tercekat saat lelaki itu maju. Wajahnya makin putih, tubuhnya tetap kurus dan tegap, lalu Syifa membuang pandangannya ke bawah, ke arah kakinya yang terbalut sepatu putih.

Saat acara selesai, Syifa memeluk satu persatu sahabat wanitanya. Mereka berfoto berkali-kali di sudut ruangan untuk mengabadikan momen kebersamaan untuk terakhir kali. Syifa meremas tangan Meridian dengan kuatnya saat ia melihat lelaki itu berjalan ke arahnya.

Lelaki itu mengenggam seikat besar bunga gunung, yang sekarang Syifa tahu namanya bunga edelweiss, lalu membaginya menjadi dua. Ia melilitkan tali wol berwarna merah jambu pada bunga itu. Entah kenapa lelaki itu melakukannya di jarak yang terjangkau oleh pandangan Syifa dan Meridian. Ia sama sekali tak berusaha menjauh dari hadapan dua wanita itu. Setelah selesai mengikat dua bagian edelweiss, lelaki itu berjalan makin dekat ke arah Syifa dan Meridian. Tiba-tiba ia menyodorkan seikat bunga pada Syifa, sementara ikatan bunga yang lain digenggam di tangan kirinya. Syifa mengangkat wajahnya, ia menatap lelaki yang ada di hadapannya sejenak.

“Untukku…?” tanya Syifa gemetar.

Tak ada jawaban.

Lelaki itu tetap memandang ke bawah tanpa melihat Syifa sedikitpun. Akhirnya ia meraih bunga itu dengan segenap kekuatan yang berhasil dikumpulkannya. Lelaki itu langsung berbalik tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya. Syifa menatap punggung lelaki itu menjauh dari hadapannya, air matanya sudah tak terbendung lagi. Meridian memeluk erat Syifa.

“Kudengar Zulfikar akan pergi ke Manado.”

Syifa meninggalkan ruang wisuda dengan perasaan tak menentu. Digenggamnya edelweiss yang mungkin berasal dari Gunung Gede itu. Syifa berusaha meminimalkan berbagai kemungkinan yang muncul dari hatinya tentang lelaki itu, mungkin lelaki itu ingin mengucapkan terima kasih karena Syifa membantunya membuat proposal kegiatan outbond kampus waktu itu. Meskipun Syifa tahu mata lelaki itu terlihat merah saat tadi dia berbalik meninggalkan Syifa.

***

Syifa berjalan menyusuri trotoar, sesekali ia menoleh ke belakang menatap jalanan aspal. Edelweiss yang ia temukan di dekat sepatunya terus diremasnya. Sebenarnya ia tak mau berharap dan merasa berharap. Tapi sekarang denyut jantungnya seolah membangkitkan apa yang selama ini terkubur dalam dirinya. Tanpa terasa air matanya meleleh, entah sudah berapa lama Syifa tidak pernah melakukan hal itu. Ketawakkalannya pada Sang Illahi Rabbi membuat ia menyerahkan seluruh urusan hidup pada Sang Pencipta. Semua hal mengenai lelaki itu, Muhammad Zulfikar, telah diserahkannya pada Penggenggam Hatinya, Allah SWT.

Sejak hari dimana lelaki itu berangkat ke Manado untuk berdakwah, Syifa telah mengazamkan tekadnya untuk tak lagi memikirkan itu. Hari-harinya ia lalui dengan ketaatannya yang makin menebal pada Allah. Ia simpan dengan rapi memori tentang seorang Muhammad Zulfikar di kotak hatinya, dan ia tutup rapat-rapat. Kesibukan Syifa mengkaji islam dan berdakwah membuatnya tak lagi punya kesempatan untuk merogoh apalagi membuka apa yang tersimpan di sudut hatinya itu. Namun pesan singkat dari Meridian, sahabatnya pagi ini membuat Syifa mau tak mau membuka memorinya.

“Salam. Ukhti sudah tujuh tahun sejak kita lulus kuliah, apalagi yang kau tunggu? Aku sudah punya dua orang mujahid dan seorang mujahidah dari rahimku. Usiamu sudah menginjak dua puluh Sembilan, tidakkah kau ingin menggenapkan dienmu?”

“Waalaikumsalam. Belum ada yang tepat untukku ya ukhti kabir.. Aku menyerahkan urusan ini sama seperti aku menyerahkan urusan rizki dan ajalku…”

“Karena ikhwan yang satu itukah? Apa kecintaanmu padanya telah sedemikian kuat hingga kau menolak delapan lelaki yang berusaha melamarmu?”

Syifa hanya terdiam, ia berusaha meraba hatinya lebih dalam. Kedelapan lelaki yang datang melamarnya memang ia tolak, karena seperti itulah jawaban yang diberikan oleh Allah selepas istikharahnya.

Syifa bergegas membuka lemarinya, dibukanya laci paling bawah.

Ia melihat kotak biru itu masih ada di sana. Dibukanya perlahan, seikat edelweiss yang diberikan oleh lelaki itu masih tersimpan di dalamnya. Kering memang, tapi entah kenapa Syifa melihat bunga itu tak ubahnya seperti edelweiss yang Zulfikar berikan tanpa kata-kata tujuh tahun lalu.

Syifa beristighfar, ia sadar tak seharusnya ia memikirkan lelaki yang bukan mahramnya itu. Syifa segera memasukkan bunga itu ke dalam kotaknya, ia tak mau hanyut dalam perasaan yang tak menentu.

Sekarang Syifa masih tertunduk, kakinya melangkah terseok menuju rumah melintasi jalanan yang masih basah karena hujan. Mahkota dari edelweiss yang ada di tangannya berjatuhan sepanjang jalan, karena ia terlalu kuat meremas. Sungguh ia ingin mengelak semua ini. Untuk apa lelaki itu datang, tidakkah ia menemukan mujahidah di kota pinggiran Laut Bunaken itu?

Syifa merebahkan badannya yang letih di atas kasur, hatinya terasa jauh lebih penat. Acara yang diadakannya sore tadi di Masjid Ar-Ridwan sukses, sebagian mahasiswi itu itu telah siap dibina, tapi Syifa enggan menyusun strategi dakwah seperti biasanya. Ia jatuh tertidur setelah tiga jam matanya tak bisa dipejamkan.

Syifa terbangun oleh raungan telepon genggamnya.

Ia memicingkan mata sebentar, lamat-lamat terdengar suara adzan shubuh. Dibukanya pesan yang datang, ternyata dari Umi Habibah, musyrifahnya sekarang,

“Assalamualaikum. Syifa sayang, siang ini bisa datang ke rumah? Kalau bisa tolong sekalian bawa biodatamu. Seorang ikhwan yang baru datang dari Manado meminta Syifa menjadi istrinya semalam. Dia bilang Syifa mengenalnya. Bisa datang kan?”

Entah apa yang Syifa rasakan sekarang, yang jelas ia menangis deras. Tapi ia sendiri bingung, untuk perasaan yang manakah air matanya keluar? Senang, kaget, syukur, tertegun, terharu, sedih, atau apa? Syifa tak ingin menjawabnya. Ia biarkan dirinya larut dalam sujud dan doa di atas sajadah pagi itu.[]

Catatan :

Teruntuk kakak-kakakku para pejuang syariah yang ada di dekatku, jangan sampai virus merah jambu yang sedang menjangkiti kita saat ini membuat langkah kita terhenti. Tetap semangat, Insya Allah sudah ada seorang mujahid yang siap menemani kita menapaki jalan dakwah yang indah ini. Bila saatnya telah tiba, ia akan datang mengetuk hati kita dengan segenap pengharapannya untuk meraih cinta tertinggi dan hakiki, kecintaan pada sesuatu yang haq, Allah Azza wa Jalla. Insya Allah, hamazah! Allohuakbar!

Sumber : sastralangit.wordpress.com

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bloger ga ngerti kalau yang namanya lukisan itu adalah haram.
Bagaimana dengan isi lain di dalam artikel ini ???