URGENSI JIHAD DAN IJTIHAD




“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pegi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa ornagntuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At Taubah: 122)”

Iftitah; Jihad sebagai Puncak Syari’at.

Saat ini dunia disuguhkan sebuah pemandangan darah dan airmata yang menetes dari tubuh kaum muslimin dalam rangka memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak mereka. Dalam menghadapi situasi seperti ini, kaum muslimin harus bersyukur karena Allah ‘Azza Wajalla telah mensyari’atkan kewajiban berjihad dalam bentuk perang terhadap kaum penjajah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah ketika beliau telah berhijrah ke kota Madinah, dan khususnya pada perang badar.

Seluruh kekuatan jihad yang di kerahkan oleh kaum muslimin dalam hal ini, ialah dalam rangka menolak ’fitnah syirik’ yang dikumandangkan oleh kaum kuffar melalui agresi militer mereka, dan untuk terus meneguhkan kalimat tauhid (QS. Al Baqarah: 193) serta menjaga ‘izzah Islam dan kaum muslimin. Al Imam At Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya; “Dan perangilah mereka sehingga tidak terjadi lagi kesyirikan kepada Allah, tidak ada penyembahan kepada berhala, sekutu dan tuhan-tuhan lain, sehingga ibadah ketaatan hanya kepada Allah saja tidak kepada selainnya.” (Tafsir At Thabary, jilid II, hal. 200).

Jadi pada intiya, setelah fitnah kesyirikan sirna dan tauhid telah kembali teguh maka tidak ada lagi jihad dalam bentuk peperangan. Syaikh as Sa’di rahimahullah menegaskan pula dalam tafsyirnya bahwa; “ Maksud dan tujuan dari perang di jalan Allah bukanlah sekedar menumpahkan darah orang kafir dan mengambil hara mereka, akan tetapi tujuannya agar agama Islam ini tegak karena Allah diatas seluruh agama dan menghilangkan semua bentuk kesyirikan yang menghalangi tegaknya agama ini, dan itu yang dimaksud dengan fitnah. Apabila fitnah itu telah hilang, tercapailah maksud tersebut, maka tidak ada lagi pembunuhan dan perang. (Tafsir Karimurrahman, hal. 89)

Ketika konteks jihad dalam arti qital (perang fisik) telah diwajibkan berdsarkan ilmu yang haq (benar), maka kaum muslimin diperintahkan oleh Allah untuk berangkat ke medan tempur baik dalam keadaan sempit maupun lapang dengan keharusan untuk bersiap-siaga mengorbankan sesuatu yang paling dicintainya yaitu; anfus (jiwa) dan amwal (harta) (QS. At Taubah:41). Karena sesungguhnya, mulianya suatu pengorbanan terletak pada mulianya tindakan yang dikorbankan. Maka seutama-utama pengorbanan seorang muslim untuk Allah ‘Azza Wajalla adalah dengan jiwa dan hartanya. Dan tidak ada tempat terbaik untuk mengorbankan jiwa dan harta seorang muslim selain di dalam jihad fi sabilillah. Suatu ketika, Rasulullah pernah ditanya oleh seseorang lelaki. Lelaki itu bertanya; “Tunjukkan kepadaku amalan yang menyerupai (keutamaan) jihad.” Beliau kemudian bersabda; “Aku tidak menemukannya.” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya; “Mampukah kamu apabila seorang mujahid keluar lalu engkau masuk masjidmu, kemudian shalat tanpa berhenti dan shaum tanpa berbuka ?.” maka lelaki itu menjawab; ”Siapa yang sanggup melakukan itu ?.” Maka beliaupun bersabda; “Sesungguhnya perumpamaan seorang mujahid itu seperti orang yang berpuasa, shalat dan selalu berbuat taat dengan ayat-ayat Allah. Dia tidak pernah berhenti dari puasanya dan dari shalatnya, hingga seorang mujahid fi sabilillah itu pulang.” (HR. Muslim, Bab Al Imarah, no: 1878)

Hadits di atas merupakan salah satu berita dari Rasulullah yang menjelaskan tentang urgensi jihad di lihat dari bentuk balasan yang akan dianugerahkan Allah berupa kebaikan kepada diri mujahid secara individu. Hadits-hadits lain yang menunjukkan tentang keutamaan jihad secara keseluruhan memberikan kesimpulan bagi para ulama bahwasannya jihad adalah seutama-utamanya amalan seorang hamba dan puncak dari pada syari’at Islam sebagaimana Rasulullah bersabda; “Puncak tertinggi ajaran Islam adalah jihad fi sabilillah.” (HR. Ahmad, jilid V, hal. 231) Dengan di tegakkannya syari’at jihad di dalam diri kaum muslimin, maka Allah menganugerahkan kepada mereka kamuliaan dan derajat yang mulai dibandingkan dengan kaum-kaum yang lainnya.

Kemuliaan syari’at jihad ini telah terbukti dalam sejarah Rasulullah dan para sahabat sebagai manhaj yang efektif dalam rangka menolak kemudharatan yang ditimbulkan baik dalam bentuk infasi teritorial yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam maupun agresi militer dalam rangka menundukkan negeri-negeri kafir yang menolak dakwah tauhid. Para nabi dan juga rasul telah dianugerahi oleh Allah dua kekuatan yang dengannya mereka dimenangkan oleh Allah ‘Azza Wajalla. Anugerah itu pertama; hujjah yang jelas serta memiiki kekuatan argumentatif berdasarkan pada wahyu, dan kedua; pedang sebagai bentuk kekuatan fisik yang menjaganya dari serangan yang bersifat fisik pula. Sebagaimana hal tersebut dinyatakan oleh Al Imam Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah di mana beliau berkata: “Dan para ulama telah menyatakan bahwa kemenangan para nabi itu ada dua macam. Pertama, menang dengan hujjah dan bayan (penjelasan), kedua, menang dengan pedang dan tombak yang hanya dikhususkan bagi orang-orang yang memang diperintahkan berperang di jalan Allah. (Adhwa Al Bayan, Jilid I, hal. 353)


Khatimah: Al Ilmu Sebuah landasan dalam Jihad dan Ijtihad



Islam tegak di atas prinsip-prinsip ilmu yang bersumberkan dari al Qur’an dan as Sunnah dengan pemahaman salafus shalih. Oleh karenanya, Islam melarang umatnya untuk beramal tanpa didasari dengan ilmu yang benar lagi shahih. Hal ini telah di jelaskan oleh para ulama sebagaimana perkataan yang dikutip oleh Al Hafidz Ibnu Hajar al Atsqalani rahimahullah di dalam kitabnya; Fathul Bari dari perkataan Ibnul Munir rahimahullah yang berkata: “Ilmu adalah syarat benarnya perkataan dan amal. Tidak akan diterima keduanya bila tanpa dilandasi ilmu. Ilmu harus didahulukan karena ilmulah yang akan membenarkan niat dan amal.” (Fathul Bari, jilid I, hal. 216) Demikian halnya ketika Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk meminta tambahan sesuatu kepadaNya, maka tidaklah Allah memerintahkan kepada beliau melaikan agar beliau meminta ditambahkan ilmu. Allah berfirman (yang maknanya); “Dan katakanlah (Muhammad), Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha: 114).

Di dalam mensikapi masalah jihad seperti ini, baik yang bersifat difensif (pertahanan) maupun opensif (agresi militer) maka posisi ilmu berperan sebagai petunjuk yang mengarahkan kaum muslimin untuk menindaklanjuti keadaan tersebut secara arif dan bijaksana. Kearifan dan kebijaksanaan itu sama sekali tidaklah identik dengan sikap mengalah, hipokrit, ketakutan, atau keinginan untuk lari dari medan pertempuran. Akan tetapi ia lebih mengarah kepada pamahaman bahwa pengamalan jihad harus sesuai dengan kaidah-kaidah syar’i yang telah ditentukan langsung melalui nash (dalil).

Allah ‘Azza Wajalla telah memberikan keterangan yang sangat kuat bahwasannya ketika jihad dikumandangkan, maka harus tetap ada dari sebagian kaum muslimin yang diletakkan pada posisi ta’lim wa ta’alum (proses belajar mengajar). Kelompok inilah yang nantinya akan di jadikan basis ilmiyah dikalangan umat untuk mengeluarkan fatwa-fatwa serta ijtihad-ijtihad ilmiyah berdasarkan ilmu yang syar’i (QS. At Taubah: 122). Sebagai contoh, ketika ilmu tidak ditegakkan secara benar kita dapat menyaksikan sebagian dari kaum muslimin yang berangkat berperang masih menggunakan jampi-jampi, rajah-rajah, jimat-jimat, ataupun ilmu-ilmu seputar kekebalan tubuh yang jelas-jelas merupakan praktik sihir dan perdukunan yang tidak sesuai dengan syari’at. Kondisi seperti ini umumnya terjadi seiring dengan semangat yang telah menggebu-gebu namun tidak di dasari dengan landasan ilmu yang benar.

Oleh sebab itu, seseorang yang akan berjihad harus memiliki pengetahuan tentang tahapan-tahapan jihad sehingga ia bisa dikatagorikan layak untuk berjihad berdasarkan timbangan syar’i. Jangan sampai, bumi jihad yang diperjuangkan dalam rangka menolak segala bentuk kesyirikan dikotori oleh praktik syirik, akibat kebodohan yang ditimbulkan oleh kaum muslimin itu sendiri. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Al Imam Ibnu Qayyim rahimahullah bahwasannya; “Jihad terhadap diri sendiri itu harus di dahulukan sebelum berjihad terhadap musuh diluar. Seseorang yang tidak berjihad melawan dirinya dari menjalankan perintah dan manjauhi larangan Allah serta memerangi nafsunya, maka ia tidak akan mampu berjihad melawan musuhnya yang datang dari luar.” (Zadul Maad, jilid. III, hal. 6)

Di sisi lain, keutamaan basis Al Ilmu yang sangat urgen dalam jihad adalah tegaknya kekuatan ulama rabbani, di dampingi oleh ulil amri (penguasa) yang faham betul akan keseimbangan penetapan nash atas waqi’iyah (realita yang terjadi di lapangan). Ulama-ulama ini mengarahkan kaum muslimin melalui fatwa-fatwa yang bersifat istimbath (kesimpulan) terhadap dalil-dalil maupun sebuah ijtihad terhadap realitas yang tidak terdapat di dalam nash. Kefahaman ahli ilmu yang didukung oleh nash dan kelengakapan informasi keadaan di lapangan akan menjadikan jihad benar-benar sesuai dengan konteksnya.

Kesalahfahaman terhadap hal ini biasanya menimbulkan “fitnah” terutama di tengah-tengah masyarakat awam yang berujung pada mudahnya sebagian kaum muslimin dalam menyalahkan bahkan mengkafirkan saudaranya yang tidak ikut memberangkatkan pasukan jihad dan ikut andil di dalamnya. Sementara dampak lainnya yang takkalah ekstrim, sebagian lainnya menjadi fobi (takut) bahkan anti terhadap jihad. Akan tetapi, jika semuanya tegak di atas landasan ilmu yang sesuai dengan petunjuk Allah dan RasulNya, maka kondisi seperti di atas tentunya dapat di atasi dengan baik.

Imam Al Khotob

Sumber

0 komentar: