Tata Cara Shalat Rasulullah SAW 1

Mukadimah

Saudara/iku Muslimin/ah Rahimakumullooh,tidak saya tidak juga anda, pastilah melihat berbagai macam sholat yang berbeda di sekitar kita. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga di sini di tempat multi-budaya ini. Dan anehnya semua mengatakan taat kepada Allah SWT dan Rasulullooh Muhammad s.a.w., dan masing-masing berkeyakinan bahwa sholat yang dilakukannya telah menurut cara yang benar sesuai tuntunan syari'ah Islam. Kalau perbedaan yang ada benar-benar didasarkan atas hadits/sunnah yang sahih tidaklah mengapa. Tetapi kalau hanya berdasarkan cerita burung yang bersambung, maka telitilah kembali sunnah Rasulullooh Muhammad s.a.w. yangberhubungan dengan shifat sholat beliau s.a.w..
Di antara mereka, yaitu orang-orang yang senantiasa melakukan sholat kepada Allah SWT, ada yang ingin mempelajari dan senantiasa berusaha untuk menyempurnakan sholatnya baik dengan membaca, bertanya,berdiskusi serta berbagai cara lainnya. Disamping itu mereka tetap menjaga kontinuitas sholatnya dengan penuh harap-cemas mudah-mudahan Allah SWT menerima sholat yang telah didirikannya. Sebab sabda Rasulullooh Muhammad s.a.w.: Sesungguhnya hamba itu akan melakukan sholat. Namun mereka tidak akan mendapatkan pahala, kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya,seperdelapannya, seperenamnya, seperempatnya, sepertiganya atau separohnya.(Ibnul-Mubarok, Abu Dawud dan Nasa'i sahih).
Hadits ini senantiasa mengingatkan mereka agar tetap dan terus-menerus berusaha menyempurnakan sholatnya dari waktu-kewaktu, dan mereka selalu bermohon penuh harap kepada Allah SWT mudah-mudahan Dia (Al-Mujieb) Yang Maha Mengabulkan Permohonan hambanya, menerima amal ibadah yang telah dilakukan, memaafkan kesalahan-kesalahan yang ada dan memberikan tuntunan kepada kesempurnaan beribadah. Sabda Rasulullooh Muhammad s.a.w.: Yang pertama-tama dipertanyakan (diperhitungkan) terhadap seorang hamba pada hari kiamat dari amal perbuatannya adalah tentang sholatnya. Apabila sholatnya baik maka dia beruntung dan sukses, dan apabila sholatnya buruk maka dia (akan) kecewa dan merugi.(An-Nasa'i & At-Tirmidzi).
Ucapan Rasulullooh Muhammad s.a.w. di atas, selalu bergaung dalam pendengarannya dan menimbulkan kegairahan yang kuat agar senantiasa berada dekat dengan Robbnya sebagaimana disabdakan oleh Rasulullooh Muhammad s.a.w.: Paling dekat seorang hamba kepada Robbnya ialah ketika ia bersujud, maka perbanyaklah do'a (saat bersujud).(Muslim) menjadikan mereka merasa sesuatu yang kurang bilamana waktu sholat telah masuk dan kewajiban belum ditunaikan. Kenikmatan ketika berbicara, berbisik dan memohon ampunan kepada Al-Ghofuur (Yang Mahan Mengampuni) adalah kerinduan yang dirindukan di atas segala.
Tuntunan para Imam, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada Hadits Rasulullooh Muhammad s.a.w. adalah menjadi acuan utama mereka yang mudah-mudahan dapat menghindarkan dirinya dari taqlid yang salah.
Perkataan para Imam yang baik agamanya dan tindakannya dipelajari sehingga diketahui
bahwa: Imam Abu Hanifah berkata: Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzabku
(Al-Hasyiyah 1/63); apabila hadits itu shahih dan bertentangan dengan madzab, maka haditslah yang dikerjakan. Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullooh Muhammad s.a.w., maka tinggalkanlah perkataanku (Al-Iqazh.p.50).
Imam Malik berkata: Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar.
Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab (Qur'an) dan Sunnah, ambilah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah.
Imam Asy-Syafi'i berkata: Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang
baginya Sunnah Rasulullooh s.a.w., maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang. Apabila kamu mendapatkan didalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullooh Muhammad s.a.w., maka berkatalah dengan Sunnah Rasulullooh Muhammad s.a.w. dan tinggalkanlah apa yang aku katakan. Setiap masalah yang ada di dalam khabar dari Rasulullooh Muhammad s.a.w. adalah shahih bagi ahli naqli dan
bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati. (Al-Fulani, p.68 ; p.100 &p.104).
Imam Ahmad berkata: Janganlah engkau mengikuti aku, dan jangan pula engkau mengikuti (Imam)
Malik, Syafi'i, Auza'i dan Tsauri; tetapi ambilah darimana mereka
mengambil (Qur'an-Sunnah). Barangsiapa yang menolak Hadits Rasulullooh
Muhammad s.a.w., maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran. (Al-Manaqib, p.192 & p.182).
Mereka para Imam, semuanya teguh dalam pendirian, sesuai benar dengan firman Allah SWT:
Dan Kami mengutus seorang Rasul, hanyalah supaya diturut dengan izin Allah. Kalau mereka itu ketika menganiaya dirinya sendiri datang kepada engkau, lalu mereka memohonkan ampun kepada Allah dan Rasul memohonkan ampunan pula untuk mereka, tentulah mereka akan mendapati
Allah itu Maha Penerima tobat dan Maha Penyayang. (S.4.(An-Nisaa'): 64)
Tetapi, tidak !!!! Demi Robbmu, mereka belum sebenarnya beriman, sebelum mereka meminta keputusan kepada engkau dalam perkara-perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menaruh keberatan dalam hatinya terhadap putusan yang engkau adakan, dan mereka menerima dengan senang hati. (S.4(An-Nisaa'): 65).
.......Sebab itu, hendaklah orang-orang yang melanggar perintah Rasul itu menjaga supaya (jangan) ditimpa ujian atau ditimpa siksa yang pedih. (S.24 : 63).
Allah SWT berfirman: Katakanlah:"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu". Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (S. 3:31)
Setiap hamba yang beriman senantiasa ingin agar dirinya dicintai oleh Al-Kholiq (Maha Pencipta), ingin agar setiap tindakannya senantiasa berada dalam jalan yang benar karena dia selalu berusaha 'ntuk menyadari bahwa Al-Aliim (Yang Maha Mengetahui) pasti tahu akan amalnya.
Yastakhfuuna minannaasi walaa yas-takhfuuna minalloohi wa huwa ma'ahum. Mereka dapat bersembunyi dari manusia , tetapi mereka tidak bersembunyi dari ALLAH, pada hal ALLAH bersama mereka. (S.4: 108).
Peringatan Allah ini senantiasa menghiasi qolbunya dengan menyadari akan kehadiran Al-Muhaimin (Yang Maha Memperhatikan, Menjaga dan Menaungi dalam segala keadaan) membuat kewaspadaan dirinya dalam bertindak-beramal, mudah-mudahan ia dapat tetap berada
dalam jalur taqwallooh (bertaqwa hanya kepada Allah). Sehingga dengan demikian harapan dirinya adalah sebagaimana Allah berfirman:
.....dan percaya kepada ALLAH, sesungguhnya dia telah berpegang kepada tali yang teguh dan tidak akan putus. Dan Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. (S.2:256)
Allah itu Al-Waali (Yang Mengendalikan dan Mengusai segala urusan) orang-orang beriman mereka dikeluarkannya dari kegelapan (kesesatan) kepada cahaya Kebenaran yang terang-jelas. Dan orang-orang yang tidak beriman itu pengendali yang menguasai mereka itu adalah syaitan, dikeluarkannya mereka dari cahaya yang terang-jelas kepada kegelapan (yang menyesatkan). Orang-orang itu isi neraka; mereka tetap (abadi) di dalamnya. (S.2: 257).
Sehingga ketika Rasulullooh Muhammad s.a.w. (pbuh) mengatakan kepada mereka :
Dari Malik bin Huwairits. Ia berkata: telah bersabda Rosulullooh s.a.w. (pbuh):
Sholluu kamaa ro-aitumuunii ushollii Sholatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat aku sholat. (Bukhori). Sedemikian pentingnya perintah sholat ini, sehingga sesekali beliau
s.a.w. melakukan sholat di atas mimbar. Dalam keadaan ini, beliau naik ke atas mimbar lalu bertakbir dan ma'mum (dibelakangnya) juga bertakbir, sampai kepada ruku' (tetap di atas mimbar), kemudian bangun i'tidal beliau turun dari mimbar hingga sujud.... kemudian memulai rak'at kedua, beliau kembali lagi ke atas mimbar. begitu hingga selesai sholatnya. Kemudian beliau menghadap kepada manusia, seraya bersabda: Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku melakukan hal ini agar kamu mengikuti aku dan agar KAMU MEMPELAJARI SHOLATKU ini.(Bukhori dan Muslim; Muslim dan Ibnu Sa'ad).
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. 5 (Al-Maidah): 6)
NIAT PANGKAL SELURUH AKTIFITAS
Bagaimana kedudukan niat sebagai pangkal dari suatu aktifitas ibadah dalam pandangan Allah SWT sebagaimana DIA berfirman: Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. (QS. 42(Asy-Syuuro ):20).
Dan DIA mengajarkan kepada Rasulullooh Muhammad s.a.w. (pbuh): Sesungguhnya amal-amal perbuatan tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu akan mendapati apa yang diniatinya. (HR. Bukhori-Muslim). Dan dilain hadits yang bunyinya mirip Rasulullooh s.a.w. bersabda: Dari Umar bin Khatab, ia berkata: telah bersabda Rasulullooh s.a.w.(pbuh):
Sesungguhnya amal-amal perbuatan tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu akan mendapati apa yang diniatinya. Barangsiapa hijrahnya* kepada Allah dan rasulNYA maka hijrahnya kepada Allah dan rasulNYA. Barangsiapa hijrahnya untuk meraih kesenangan dunia atau menikahi wanita, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia hijrahi. (HR. Bukhori 1:9 & Muslim 6:48)
Niat itu adalah maksud /keinginan menyengaja dengan kesungguhan hati untuk mengerjakan sholat* semata-mata karena menaati perintah
Allah SWT sesuai dengan tuntunan Rasulullooh s.a.w. (pbuh) (yang diketahuinya). Ibnu Taimiyyah berkata: tempat niat itu di hati bukan di lisan menurut kesepakatan para Imam kaum muslimin dalam semua masalah ibadah. Sehingga
seandainya seseorang berkata dengan lisannya berlainan dengan apa yang diniatkan dalam hatinya, maka yang dianggap adalah apa-apa yang diniatkan oleh hatinya bukan yang dilafazhkan. Dan seandainya seorang berkata secara lisan tentang niatnya tetapi niatnya tidak sampai kehatinya, maka yang demikian tidak mencukupi menurut kesepakatan para Imam kaum Muslimin, karena niat adalah kesengajaan maksud dan kesungguhan dalam hati. (Majmuu'atir-Rosaailil Kubro 1:243).

Selanjutnya